Emang Kamu Siapa? Kok Berani Jadi Trainer, Sih? Inilah 5 Alasan, Mengapa Saya Berani Jadi Trainer

menulis itu mudah
Emang Kamu Siapa? Kok Berani Jadi Trainer, Sih? Inilah 5 Alasan, Mengapa Saya Berani Jadi Trainer
Assalamualaikum sahabat lithaetr, mari masuki dunia parenting, inspirasi, dan hiburan (musik, film, buku, dan drama Korea).

Sejarah perjalanan menjadi trainer

Bulan Ramadhan tinggal menghitung jam saja, izinkan saya untuk meminta maaf atas segala khilaf, baik disengaja ataupun tidak. Semoga kita bisa mendapatkan kenikmatan Ramadhan di tahun ini, aamiin.
Sebelum Ramadhan, bolehlah ya, kalau saya sedikit mengeluarkan unek-unek dan berharap ke depannya, saya bisa menjadi lebih baik lagi, dan tetap bisa terus berbagi ilmu. Mungkin sahabat ada yang bertanya-tanya, tumben saya menulis unek-unek di blog ini, biasanya kalau soal unek-unek itu di blog litha-etr. Iya nih, maafkan karena saya belum bisa nyambi dan nulis di banyak tempat lagi, jadilah saya tulis di sini dulu saja.
Mengapa sih, kok judul hari ini seperti itu? Sebab, ada beberapa kata-kata tak sedap dan tidak enak, yang sempat saya terima di saat saya memutuskan untuk menjadi trainer. Sebelum saya memutuskan untuk menjadi trainer, saya sudah paham betul kalau saya bukanlah siapa-siapa. Lalu, kenapa orang yang biasa-biasa ini berani menjadi trainer? Pastinya sudah ditimbang, dipikirkan, dan direnungkan secara seksama. Apa sih, alasan sebenarnya? Yuk, tetap ikutin curhatan saya ini.

Tadinya sih, saya tidak mau menanggapi perkataan-perkataan enggak enak tersebut, tapi lama-lama mengganggu juga dan mengganjal di hati. Jadilah saya mau jujur saja,

Inilah alasan-alasannya saya berani menjadi trainer,

1] Saya butuh belajar

Saya menjadi seorang trainer itu karena saya merasa butuh belajar. Mungkin sahabat, sudah ada yang tahu kalau saya ikut komunitas Ibu Profesional. Komunitas yang diperuntukkan bagi para ibu dan calon ibu ini terbentuk karena keinginan dan kebutuhan Ibu Septi (Founder Ibu Profesional), untuk belajar sebagai ibu yang lebih baik bagi anak-anaknya.
Beliau secara konsisten membuat video pembelajaran bagi dirinya sendiri tentang bagaimana dia mengasuh anak-anaknya. Kemudian dipelajari kembali. Secara konsisten seperti itu, walaupun ada tamu, dia tetap belajar. Akhirnya, tamu-tamu itulah yang menjadi rekan belajar pertamanya.
Inilah alasan pertama saya menjadi trainer, karena saya butuh belajar. Jadi, mau ada muridnya atau tidak saya tetap belajar, karena muridnya saya sendiri.

2] Bahan evaluasi diri

Saat kita belajar, pasti kita akan menemukan soal-soal latihan. Dalam menjawab soal-soal latihan tersebut, kita perlu sering berlatih. Mungkin pertama kali menjawab, kita salahnya banyak, tapi bila semakin berlatih pasti kita juga akan semakin memperbaiki kualitas diri.
Bagi saya, menjadi seorang trainer itu bukan ajang untuk gaya-gayaan, sebab saya tahu saya bukan siapa-siapa. Tapi saya butuh belajar dan sering berlatih agar saya menjadi lebih baik. Menjadi trainer adalah sarana saya untuk evaluasi diri atau bagian dari menjawab soal ujian. Jika saya gagal berarti saya harus belajar lagi. Jika, saya sudah baik, berarti saya harus menambah ilmu lain agar bisa semakin lebih baik lagi.

3] Mengamalkan ilmu yang baru didengar

trainer kepenulisan
Gambar dari channel telegram ahlulsunnah poso
Karena saya tipikal belajarnya visual (melihat), kinesthetic (mengerjakan atau berlatih), dan mencatat atau menulis, maka dalam mengamalkan ilmu yang baru didengar biar terekam dalam otak, perlu melalukan ketiga hal tadi. Dengan menjadi seorang trainer, saya bisa menyerap ilmu-ilmu baru yang saya pelajari dengan lebih baik.
Selain itu, penting bagi saya untuk jujur pada diri sendiri. Jika saya belum paham, maka saya akan terus belajar, setelah lebih paham akan lebih membahagiakan, jika saya bisa berbagi kepada orang lain.
Pengalaman pribadi, saat saya ingin belajar dari orang yang terkenal, tapi belum mampu. Maka saya mencoba dan bereksperimen mencari ilmu dari sumber yang lain dan berbeda, belajar, serta terus berlatih. Alhamdulillah, saya bisa. Mungkin belum sempurna seperti si orang terkenal, tapi saya tidak kecil hati, karena target saya bukan menjadi terkenal, namun saya bisa. Perbandingan saya adalah kemampuan saya dahulu dan sekarang, bukan dengan kemampuan orang lain.

4] Menjadi guru itu termasuk cita-cita saya waktu kecil

Papa saya seorang dosen. Dari kecil saya melihat dan mempelajari, bagaimana cara papa saya mengajar. Sahabat pasti sudah hafal dengan istilah “Anak adalah Mesin Fotocopy yang Ulung”. Jadi, saya terbiasa main guru-guruan dengan boneka dan teman-teman saya. Saat ditanya, apa cita-citamu? Dengan percaya diri, si litha kecil akan menjawab, jadi dosen atau guru.
Qadarullahnya, keluarga suami juga guru. Jadilah kami berdua sangat memperhatikan soal pendidikan atau belajar. Yang pasti, istilah “Buah Jatuh Tidak Jauh dari Pohonnya”, bisa jadi itu tepat.

5] Sebagai tabungan amal jariyah

berbakti kepada orang tua
Gambar dari channel telegram arafat
Bagi saya yang bukan siapa-siapa, cara termudah untuk menabung amal jariyah adalah menjadi trainer. Mengapa? Sebab modal yang hanya saya miliki adalah ilmu yang sedikit, tapi kemauan untuk belajar besar, jadi akan lebih seru kalau kita sama-sama belajar.
Selain itu, saya ingin memberikan tabungan amal jariyah juga bagi almarhumah mama tercinta. Saya belum mampu memberikan apa-apa bagi almarhumah mama, padahal salah satu jalan kita menuju surga adalah berbakti kepada orang tua. Ada sebuah tulisan yang saya ambil dari channel telegram arafat, berikut ini,
KEJARLAH SURGA HINGGA KE TELAPAK KAKINYA
Sebuah hadist Rasulullah yang disebut Al-Imam As-Suyuthi dalam kitab Jami’us Shagir bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu.
الْجَÙ†َّØ©ُ تَØ­ْتَ أقْدَامِ الْØ£ُÙ…َّÙ‡َاتِ
Memiliki makna yang begitu luas. Dari hadist itulah Rasulullah menggambarkan seolah-olah surga itu terletak pada telapak kaki ibu, yang artinya, bakti seorang anak kepada ibunya harus sampai ke titik paling rendah kepada ibunya, agar anak tersebut pantas diganjar surga.
Analoginya seperti ini, andaikan anak itu posisinya seperti sepasang sandal bagi ibunya. Mengapa sandal? Sebab sandal memang digunakan atau berada di bawah telapak kaki. Sandal itu diibarat sebagai titik terendah karena berada di posisi terbawah.
Tapi, ada pelajaran yang bisa diambil dari sepasang sandal ini, yaitu pertama, semahal apapun harganya, sandal tidak akan pernah diletakkan di atas kepala. Sikap seperti itulah yang harus kita tunjukkan kepada orang tua, khususnya ibu.
Meski kita telah sukses dan kaya raya bagaimana pun, tetap saja posisi kita harus merendahkan diri di bawah kakinya. Jangan sombong hanya karena harta berlimpah, lalu merasa lebih tinggi dari kedua orang, terutama ibu.
Kedua, sandal tak pernah protes dipakai untuk situasi jalan yang bermacam-macam. Jalan kering nan bersih maupun jalan berlumpur nan kotor. Jalan rata yang nyaman maupun jalan berbatu yang tajam.
Artinya, bakti kepada ibu sepantasnya dalam berbagai situasi. Lapang maupun sempit, senang maupun sulit. Berapa banyak orang yang mengabdi kepada ibunya hanya untuk perkara mudah saja, namun saat ibunya meminta pengorbanan yang lebih besar, ia lari tunggang langgang.
Ketiga, sandal selalu sabar menunggu. Saat sandal dilepaskan di depan rumah, ia akan tetap berada di situ sampai pemiliknya membutuhkan lagi untuk keluar rumah. Tak ada yang lebih setia daripada sandal!
Demikianlah sejatinya sikap yang harus kita tunjukkan kepada ibu. Sabar dan setia. Sebagaimana dahulu ibu teramat sabar mengasuh kita ketika kecil dan begitu setia membesarkan kita.
Berharaplah agar ibu diberi umur panjang, karena kita menikmati setiap keringat yang tumpah dalam bakti kepadanya. Bukan berharap agar berbakti kepadanya segera selesai, karena kita sudah tidak tahan lagi dan begitu tersiksa dalam berbuat taat padanya.
Akhirnya, setiap kita memang hanya sepasang sandal bagi ibu kita masing-masing. Walaupun tidak mudah, tapi percayalah ibu selalu sayang kepada kita.
Coba lihat jika seseorang kehilangan sebelah sandalnya, ia tak akan rela jika digantikan sebelah sandalnya itu meski dengan yang lebih bagus. Ia hanya ingin sepasang sandal yang seperti semula, bukan yang saling berlainan.
Demikian pula ibu, meski tampak seolah tidak perhatian, sebenarnya itu hanya perasaan kita saja. Ibu tidak akan rela jika kita digantikan dengan anak yang lain. Ibu selalu sayang kepada kita.
Tulisan di atas mampu membuat saya terenyuh. Saya belum bisa berbakti kepada almarhumah mama, lalu bagaimana cara saya berbakti padanya? Salah satunya adalah memberikan amal jariyah baginya.
Itulah 5 alasan saya mulai terjun dan mulai menekuni profesi sebagai trainer. Sekali lagi, saya paham kalau diri ini bukanlah siapa-siapa, tapi hanya karena niat belajar dan berbagilah, saya mencoba menjadi seseorang yang bisa bermanfaat bagi sesama.
Maafkan saya, jika dari tulisan ini ada kata-kata yang menyinggung. Bagi sahabat yang pernah belajar bareng saya, silakan berikan testimoni, saran, dan kritiknya ya, terima kasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yuk, Dapatkan 6 Keuntungan dengan Memanfaatkan Peluang Bisnis Coworking Space

5 Lesson Learned Drakor Twenty Five Twenty One untuk Remaja

6 Hal yang Perlu Disiapkan Saat Mudik